Minggu, 17 April 2011

Mendiknas M. Nuh Kunjungi Langitan

Tuban - Kepeloporan Pondok Pesantren Langitan dalam mempertahankan sistem pendidikan salaf berbasis pondok pesantren diacungi jempol oleh Menteri Pendidikan Nasional, Mohammad Nuh saat berkunjung di Pondok Pesantren Langitan (17/4). Menurut Mendiknas, Langitan patut dicontoh oleh pesantren-pesantren lainnya dalam hal konsistensinya untuk membentengi generasi dari demoralisasi yang kian marajalela akhir-akhir ini.

Pemerintah sangat mengapresiasi sistem pendidikan pesantren. "Jika selama ini ada kesan pendidikan pesantren dianaktirikan oleh pemerintah itu merupakan sesuatu yang keliru. Justru pemerintahlah yang mestinya sudah harus "nyaur utang" untuk membantu pesantren atas jasa-jasanya selama ini, terutama dalam ikut mendirikan bangsa ini. Jadi, dalam Undang-Undang sistem pendidikan Nasional, sama sekali tidak ada dikotomi pendidikan umum dan keagamaan," ujarnya.

Setelah berkunjung di Pondok Pesantren Langitan, Mendiknas meneruskan perjalanan ke Lamongan untuk melakukan sidak (inspeksi mendadak) persiapan Unas. (*)

Macam-Macam Murtad (Serial Tulisan KH. Abdullah Faqih 1)

Sebagai seorang muslim, patut kiranya dalam setiap waktu luang, kita melakukan muhasabah atas diri sendiri. Menghitung-hitung kembali segala sikap, tindakan dan ucapan yang pernah kita lakukan selama ini. Sekiranya semuanya itu tidak mengandung hal yang menyebabkan kita tergolong dalam barisan orang-orang murtad. Wal iyadhu billah.

Al habib Husain bin Tohir bin Muhammad bin Hasyim Ba Alawi dalam Matan Sulam Taufiq menyebutkan tiga macam pembagian atas prilaku riddah (murtad). Yakni keyakinan, perbuatan dan ucapan. Dalam hal sikap hati atau keyakinan, seseorang dikatakan telah murtad, jika di dalam hatinya terdapat keraguan atas wujudnya zat Allah Swt. Juga keraguan atas risalah yang dibawa oleh Rasulallah Saw. Bahwa semuanya tidak berasal dari Allah Swt. Setiap keraguan itu tidak lain dihembuskan oleh syetan. dan, hanya bisa ditepis dengan cara mendekatkan diri kepada Allah dan meminta pertolongan kepada-Nya.

Dalam hal tindakan, seorang muslim terbilang murtad jika melakukan segala perbuatan yang, telah disepakati para ulama, hanya dilakukan oleh orang kafir. Seperti bersujud di hadapan makhluq, baik berupa berhala, pohon, batu, api, gunung, bintang, bulan, matahari ataupun mahluk-mahluk lainnya.

Beliau juga mengingatkan umat Islam semuanya agar senantiasa berhati-hati dalam mengucapkan sesuatu. Karena, menurut beliau, tak terhitung banyaknya kalimat yang bisa menjerumuskan pengucapnya pada jurang kemurtadan.Dalam kitab tersebut, beliau menyebut beberapa contoh. Antara lain, ucapan “Wahai Kafir!” yang ditujukan kepada seseorang yang jelas-jelas beragama Islam. Maka seketika itu juga pengucapnya dihukumi murtad. Sampai orang itu mencabut kembali ucapannya dan mengucap dua kalimat sahadat. Karena dengan ucapan itu dia telah mengafirkan seorang muslim.

Kecuali apabila ucapan tersebut (Wahai Kafir!) dimaksudkan bukan untuk mengafirkan seorang muslim, melainkan sekedar untuk menyatakan bahwa orang itu telah mengkufuri nikmat Allah. Dalam arti tidak mensyukuri segala karunia-Nya. Maka, para ulama telah bersepakat bahwa ucapan tersebut dihukumi Haram. Artinya, pengucapnya mendapatkan dosa.

Di samping itu, juga dihukumi murtad orang yang mengucapkan kalimat yang mengandung ungkapan menyepelekan dan menganggap remeh terhadap Asma, Sifat, Perintah, Larangan, Janji dan Ancaman Allah Swt. Seperti ucapan “Seandainya arah kiblat berubah ke arah sana, tentu aku tidak akan shalat menghadap ke sana!”. Atau ucapan-ucapan sejenis, yang mengandung pembangkangan terhadap perintah Allah Swt. Bagitu juga dengan orang yang berkata, “Seandainya Allah Swt memberiku surga, aku tidak akan mau memasukinya!” dengan maksud menyepelakan dan secara terang-terangan menyatakan penghinaan terhadap segala sesuatu yang telah dijanjikan Allah Swt dalam Kitabnya.

Atau ucapan, “Seandainya Allah Swt menyiksaku sebab meninggalkan shalat atau puasa, sedangkan aku dalam keadaan sakit atau tidak mampu mengerjakannya, maka Allah telah berbuat aniaya padaku.” Pengucapnya dihukumi murtad. Karena dengan kalimat tersebut, berarti si pengucap telah meremehkan ancaman Allah Swt dalam Alqur’an:

Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri. (QS Yunus:33)

Demikian pula segala perkataan yang mengandung penghinaan, makian dan kesangsiang terhadap Rasulallah Saw, Malaikat. Juga terhadap Alqur’an, Hadist Mutawatir dan segala produk hukum yang bersumber dari keduanya, baik yang bersifat sunnah, wajib, haram ataupun mubah. Wallahua’lambisshowab.

Selasa, 12 April 2011

PT Secara Nasional Pasti Rawan Digugat di MK

Pemberlakuan ambang batas masuk parlemen atau Parliamentary Threshold (PT) secara nasional yang diusulkan sebesar 3 persen dalam RUU perubahan UU 10/2008 tentang Pemilihan Umum akan rawan digugat.

Pasalnya, hal itu akan merugikan partai-partai kecil yang memiliki basis di daerah. Wakil Ketua Komisi II DPR, Ganjar Pranowo mengatakan, semangat untuk menaikkan PT itu tidak bisa dilakukan secara langsung dan bersama-sama.

Harus ada jenjang dan pembedaan antara PT yang berlaku di pusat dengan angka PT yang dipatok di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

"Kalau kita mau, PT itu harus dibedakan. Pikiran saya, PT untuk pusat sebesar 5 persen, dan daerah itu tiga persen," kata Ganjar.

Dia menyatakan, pada dasarnya, draft perubahan UU 10/2008 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) DPR, DPR, dan DPRD itu belum final.

Karena masih banyak permasalahan yang memerlukan pembahasan secara mendalam. Selain itu, keberadaan draft tersebut hanya untuk memenuhi kewajiban DPR untuk segera disampaikan kepada pemerintah.

"Sebenarnya teman-teman Baleg (Badan Legislasi) ketika menginisiasi memang punya PR (pekerjaan rumah) besar untuk mempercepat ini. Kalau konsepsi ini yang diajukan, maka dugaan saya dalam setiap pembahasan, perdebatannya masih akan panjang, karena itu akan diungkap lagi," ujar Ganjar.

Fraksi Gerindra Tidak Jadi Terbelah

Keinginan para politisi dalam Fraksi Gerindra yang merupakan gabungan Partai Gerindra, PKNU dan PKS untuk berpisah dengan membentuk fraksi sendiri-sendiri akhirnya benar-benar terganjal. Rapat Paripurna DPRD yang digelar, Senin (11/4), menyatakan pembatalan keputusan penambahan fraksi di DPRD Tuban.
Digelarnya Paripurna pembatalan dari paripurna sebelumnya ini memang menarik dan baru pertama kali terjadi di DPRD Kabupaten Tuban. “Ini kejadian yang konyol. Bagaimana tidak, wong hasil rapat paripurna yang disetujui semua anggota dewan kok dibatalkan.” Ujar Saiful Huda, anggota DPRD dari PKNU.
Menurut politisi asal Widang ini mestinya konsultasi ke Biro Hukum Pemprov terkait multi tafsir tatib pasal 32 ayat 9 itu dilakukan sebelum Paripurna atau bahkan sebelum rapat Banmus. Keruwetan ini jelas karena ketidakbecusan pimpinan DPRD Tuban dalam memimpin dewan.
Hal senada disampaikan Nurhadi, anggota DPRD dari Gerindra, politisi yang mantan kepala desa ini menilai seharusnya pembatalan keputusan Rapat Paripurna Penetapan Penambahan Fraksi DPRD Tuban tersebut tidak terjadi. Menurutnya, sangat aneh jika hasil Rapat Paripurna dibatalkan oleh Rapat Paripurna juga, padahal tidak ada kondisi darurat.
Masalahnya, kata Nurhadi, terletak pada ketidak tegasan para Pimpinan DPRD. Dikatakannya, para Pimpinan DPRD melakukan konsultasi ke Propinsi setelah keputusan pemekaran fraksi ditetapkan. Karena DPRD Propinsi tidak menyetujui, akhirnya digelar Rapat Paripurna lagi untui membatalkan keputusan tersebut. “ Seharusnya konsultasi dilakukan sebelum Rapat Paripurna Penetapan Pemekaran Fraksi, jadi nggak repot seperti ini,” kata Nurhadi.
Dengan keputusan rapat Paripurna pembatalan ini berarti Fraksi PKS-PKNU yang merupakan gabungan PKS dan PKNU dengan lima anggota dan Fraksi Gerindra yang beranggotakan empat orang yang pada awalnya telah disahkan dalam paripurna, harus kembali menjadi satu fraksi, yaitu bernama Fraksi Gerindra yang beranggotakan sembilan orang dari tiga partai, Partai gerindra, PKNU dan PKS. (*)